(Oleh : M. Subakri, Pemilik Brand
Ayo Mendidik). Langkah kecilmu terdengar di tangga ke dua gedung lama itu. Semakin lama semakin terdengar jelas gesekan suara sepatu dan lantai keramik usang. Mulai Nampak dibalik tembok yang sudah butuh setuhan cat baru. Senyum idah menghiasi kerudung coklat yang engkau pakai. Semakin dekat semakin nampak senyum lugumu. Siang itu hari Sabtu, masih ku ingat karena kelelahan duduk di depan bascamp usai melatih pasukan pengimbar bendera untuk upacara hari Senin.
Aku tak pejamkan mata saat langkahmu berhenti. Timbul banyak Tanya kenapa engkau berhenti?. “Masih mau oleh-oleh ya?”, bibir kecilmu bergerak. Heran, “Oleh-oleh?”. “Iya, mau apa tidak?”, tanyamu polos. Aku semakin heran tiba-tiba dia tanya demikian.
Kerut jidakku pasti nampak jika saat itu ada kamera yang merekamnya. Mencoba mengingat-ingat kenapa dia tiba-tiba tanya tentang oleh-oleh. Ah, baru ingat. “Oh iya, kamu baru datang dari Batu Malang ya?”, tanyaku semangat. Gadis kecil itu hanya tersenyum sambil menggerakkan tangan kananya yang dari tadi disembuyikan dibalik punggungnya. Mataku fokus ketangan dia. Heeee … Nampak sebutir apel berada di atas tangan gadis kecil kelas IV (empat) sekolah dasar.
“Ini oleh-olehnya!”, sambil melihat ke apel tersebut. “Untuk saya?”, tanyaku mengiba. Tanpa berkata gadis kecil itu bergerak menuju tempat aku bengong. Setelah memberikan buah itu, mencium tangan kananku, dia balik badan sambil berlari, “Assalamualikum …”. Ku lihat gadis kecil berbaju pramuka berlari sampai tertelan anak tangga di lantai dua. Ku pandangi sebutir apel itu. Lumayan besar juga, cukup untuk menganjal perut yang memang waktunya diisi. Namun ku urungkan niat itu karena ini barang spesial menurutku.
Dia adalah salah satu siswi di sekolah tempat aku mengajar dulu. Meskipun aku belum pernah mengajar dia di kelas. Kami cukup akrab, karena saat istirahat atau jam pulang kadang dia meminta aku mengajarinya belajar trik-trik cepat matematika. Pernah juga kita nikmati sayupan angin siang bersama 2 temanmu di lantai teras ruang kelas VI, lantai 3 bangunan lama SD kita sambil belajar matematika. Ah, seolah dia bukan murid, malah layaknya adik bahkan seperti anakku sendiri.
Tiap dia datang dari berlibur di Batu Malang, pasti membawa oleh-oleh untuk ku. Tiap oleh-oleh pasti tidak dalam bungkus kresek atau tas. Memang karena satu butir ya tak pantas dibungkus plastik. Hadiah itu cukup berarti bagi aku, karena bukti perhatian dia pada gurunya. Tanda buildingreeport terjalin atara kami. Dengan demikian saya bisa memberikan nilai-nilai kebaikan padanya.
SMP dan SMA kami tetap memberi kabar meski hanya via sms. Banyak sahabat yang memberi ucapan selamat ulang tahun. Aku selalu membalas jangan ucapkan itu, karena tidak boleh merayakannya. Akhirnya sahabat yang aku kenal tak pernah memberi ucapan selamat ulang tahun lagi. Tapi tidak untuk siswaku ini. SMP bahkan SMA dia masih saja ingat dengan tanggal itu.
Berkisar 8 tahun kami tak pernah berjumpa. Beberapa bulan yang lalu aku lihat FBnya. Nampak kini fotonya sudah beda dengan saat dia di SD dulu. Aku tak melihat wajahnya, di foto yang dia unggah nampak jilbanya yang panjang dan berwarna gelap. Bahasanyapun sudah sangat berbeda. Sepertinya ilmu agamnya sudah mumpuni.
Aku inboxkan sebuah kalimat agar dia mendukung aku dalam sebuah lomba. Aku berharap dia benar-benar mendukung aku dalam kegiatan ini. Dengan seluruh keyakinan pasti dia akan membalas, “Iya Tadz, saya akan mendukung dan mengisi data-data yang ustadz inginkan”. Ah, kalimat itu hanya khayalanku belaka. Ternyata tidak seperti yang aku bayangkan. Balasan dia berbeda 1800 dari prediksi sebelumnya.
“Bismillah … Apakah ini yang Bapak cari selama ini untuk menjadi guru?”, kalimat di inbox yang membuat aku kaget. “Keikhlasan Bapak menjadi guru akan hilang jika hanya berharap sebuah penghargaan semu seperti ini”, lanjutan kalimat itu. “Mohon ma’af aku tidak bisa mengisi data itu, karena aku menghargai Bapak sebagai guruku yang setia dan ikhlas sebagai pendidik, bukan karena sebuah penghargaan”.
Sebuah rantaikan kalimat yang membuat hatiku pedih juga bangga. Pedih karena dia tidak mendukungku, namun juga bangga karena dia sudah mengingatkanku untuk menjadi guru yang sebenarnya guru. Dalam hatiku, “Kini hadiah buah apel itu menjadi sebuah kalimat yang manis dan segar untuk diri dan jiwaku”.
Untuk murid kecilku yang lucu dulu, terima kasih atas buah apel tanda hormatmu, kebersamaan, dan kejujuranmu. Engkau kini sudah kuliah diperguruan tinggi ternama, semoga Allah menjadikan engkau generasi yang soleha.
Judul : Kalimatmu Semanis Buah Apel Yang Dulu
Deskripsi : (Oleh : M. Subakri, Pemilik Brand Ayo Mendidik ). Langkah kecilmu terdengar di tangga ke dua gedung lama itu. Semakin lama semakin terden...